Get Gifs at CodemySpace.com

Kamis, 30 Juni 2011

Pemecahan Masalah Melalui Filsafat Muslim

Keyakinan kepada adanya Tuhan harus didasarkan atas kesadaran akal, bukan sekedar kesadaran yang bersifat tradisional yakni melestarikan warisan nenek moyang betapapun corak dan konsepnya (Ahmad Azhar Basyir, 1993:13)

Akal adalah potensi (luar biasa) yang dianugrahkan Allah kepada manusia, karena dengan akalnya manusia memperoleh pengetahuan tentang berbagai hal. Dengan akalnya manusia dapat membedakan mana yang benar mana yang salah, mana yang baik mana yang buruk, mana yang menyelamatkan mana yang menyesatkan, mengetahui rahasia hidup dan kehidupan dan seterusnya.
Oleh karena itu adalah pada tempatnya kalau agama dan ajaran Islam sebaik-baiknya dan seluas-luasnya. Sanga banyak ayat Al-Qur‟an yang memerintahkan manusia menggunakan akalnya untuk berfikir. Memikirkan alam semesta, memikirkan diri sendiri, memikirkan pranata atau lembaga-lembaga sosial, dan sebagainya, dengan tujuan agar perjalanan hidup di dunia dapat ditempuh setepat-tepatnya sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk ciptaan Allah yang akan kembali kepada-Nya serta memetik hasil tanaman amal perbuatannya sendiri di dunia baik sebagai abdi maupun sebagai khalifah-nya di bumi.
Beberapa contoh ayat Al-Qur‟an yang memerintahkan manusia berfikir tentang alam, diri sendiri, umat terdahulu dan pranata (lembaga) sosial, dikemukakan berikut ini.

Artinya :“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (Q.S. Ali-Imran : 190).
Dalam surat Ar-Rum (30) kalimat pertama ayat 8, Allah bertanya.


Artinya :”Dan Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya” (Q.S. Ar-Rum :8).
Dalam surat Al-Mu‟min (40) kalimat pertama ayat 21 Allah bertanya kepada manusia yang hidup sekarang tentang nasib mereka yang hidup dahulu.

Artinya : “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi[1319], Maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah” (Q.S. Al-Mu‟min :21).
[1319] Maksudnya: bangunan, alat perlengkapan, benteng-benteng dan istana-istana.
dan

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Q.S. Ar-Rum :21).
Akal yang diberi tempat demikian tinggi di dalam agama Islam, mendorong kaum muslimin mempergunakannya untuk memahami ajaran-ajaran Islam dengan penalaran rasional, sejauh ajaran itu menjadi wewenang akal untuk memikirkannya.
Oleh karena itu sesungguhnya, pada hakikatnya umat Islam telah berfilsafat sejak mereka menggunakan penalaran rasional dalam memahami agama dan ajaran Islam. Penalaran rasional dalam memahami ajaran Islam adalah mempergunakan akal pikiran (ra‟yu) untuk berijjtihad sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang Mu‟az bin Jabal, (Ahmad Azhar Basyit, 1993 : 18-19).
Sebagai ilmu dan bidang studi, filsafat Islam muncul bersamaan dengan munculnya filsuf yang muncul pertama, Al-Kindi pada pertengahan abad IX M. atau bagian pertama abad III H, setelah berlangsung gerakan penterjemahan buku ilmu dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab lebih dari setengah abad di bagdad. Oleh karena dapat dipahami kalau ada ulama yang menganggap filsafat hanyalah hasil pemikiran berdasarkan akal manusia semata, seperti filsafat Yunani yang

diterjemahkan itu. Anggapan demikian tidak benar, sebab para filsuf muslim yang sama seperti para ulama lainnya juga, mendasarkan pemikirannya pada Al-Qur‟an dan Al-Hadits dan memandang Al-Qur‟an dan Al-Hadits di atas segala kebenaran yang didasarkan pada akal manusia semata. Mereka tertarik kepada filsafat karena berpikir atau berfilsafat merupakan tuntutan agama dalam rangka mencari kebenaran dan mengamalkan kebenaran itu. Yang mereka pergunakan sebagai saringan (filter) adalah ajaran Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Dengan mempergunakan Al-Qur‟an dan Al-Hadits sebagai dasar dan bingkai pemikiran dapatlah disebut bahwa hasil pemikiran mereka adalah filsafat Islam atau filsafat dalam Islam (Ensiklopedia Islam Indonesia, 192:232). Filsafat Islam juga membicarakan masalah-masalah besar filsafat, seperti soal wujud, soal esa dan berbilang, yang banyak dari yang Maha Satu (di bawah), teori mengenal kebahagiaan dan keutamaan, hubungan manusia dengan Tuhan dan sebaliknya. Selain itu filsafat Islam mencakup juga tentang kedokteran, hukum, ekonomi dan sebagainya. Juga memasuki lapangan ilmu-ilmu ke-Islaman lain seperti ilmu kalam, ilmu fikih serta ilmu tasawuf (juga ilmu akhlak) terdapat uraian yang logis dan sistematis yang mengandung pemikiran-pemikiran filosofos (kefilsafatan). Banyak persoalan-persoalan yang dibahas dalam filsafat Islam. Di antaranya yang penting dalam kajian ini adalah persoalan (hubungan) akal dan wahyu atau hubungan filsafat dengan agama, soal timbulnya yang banyak dariyang maha satu yaitu kejadian alam, soal ruh, soal kelanjutan hidup setelah ruh berpisah dengan badan atau mati (Ensiklopedia Islam jilid II, 1993 : 16-17).
Filsafat Islam mencapai puncaknya di zaman Al-Farabi dan Ibnu Sina pada abad XI dan XII M atau abad IV dan V H. Kedua tokoh ini merupakan bintang paling bercahaya dalam sejarah filsafat Islam, sedang yang lain, sebutlah misalnya Ibnu Maskawih, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd, juga bintang-bintang filsafat Islam, tetapi cahaya mereka tidaklah

secemerlang cahaya Al Farabi dan Ibnu Sina tersebut di atas. Setelah ada pertentangan di antara para ahli atau ulama mengenai kefilsafatan seperti yang telah disinggung di atas yang berpuncak pada polemik antara Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali sekitar abad XII M, perhatian orang kepada filsafat menjadi berkurang di kalangan Sunni. Perhatian itu baru bangkit dan berkembang kembali pada satu abad terakhir ini (abad XX M). di kalangan Syi‟ah perhatian kepada filsafat (Islam) tidak pernah berkurang di kalangan Sunni, kalangan Syi‟ah mampu melahirkan filsuf-filsuf besar, seperti Mulla Sadra (w. 1640M atau 1050H).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar